Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Opini

Ketika Aktivis Menjadi Bayang-Bayang KekuasaanAncaman Baru bagi Kepemimpinan Daerah

38
×

Ketika Aktivis Menjadi Bayang-Bayang KekuasaanAncaman Baru bagi Kepemimpinan Daerah

Sebarkan artikel ini

Penulis: Masno
Jurnalis Nasional & Pemerhati Sosial

Dalam sistem demokrasi yang sehat, aktivis adalah suara nurani rakyat. Mereka hadir sebagai pengingat kekuasaan agar tak melenceng dari jalur keadilan dan akal sehat. Namun kini, di banyak daerah, wajah aktivisme perlahan berubah: dari kontrol sosial menjadi alat tekan, dari penyeimbang kekuasaan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri—bahkan dalam bentuk yang lebih menakutkan.

Example 300x600

Fenomena ini bukan sekadar wacana, melainkan fakta lapangan. Aktivis tertentu justru melakukan intervensi terhadap urusan pemerintahan, bukan demi rakyat, tetapi demi kepentingan pribadi. Mereka menekan pejabat untuk memenuhi kehendak yang seringkali tidak berhubungan dengan kepentingan publik. Bila tak dituruti, serangan pun datang—baik melalui opini yang dipelintir, media sosial yang dimanipulasi, atau laporan politik ke instansi di atas.

Pejabat Jadi Sandera Tekanan Sosial

Celakanya, banyak pejabat publik yang akhirnya tunduk. Mereka memilih diam, mengalah, atau “ikut arus” demi meredam kegaduhan. Bukan karena kebijakan salah, tapi karena tekanan terlalu bising. Kebijakan publik pun tak lagi berdiri di atas prinsip dan aturan, melainkan pada siapa yang berteriak paling keras.

Apakah ini demokrasi? Tentu bukan. Ini adalah penyelewengan nilai-nilai demokrasi. Aktivisme yang kehilangan ruh. Kepemimpinan yang kehilangan keberanian. Ketika para pemimpin tidak lagi berpihak pada kebenaran, tetapi pada ketakutan, maka yang tumbuh bukan keadilan, melainkan kekacauan.

Rakyat Jadi Korban, Daerah Kehilangan Arah

Di tengah pusaran tekanan yang tak sehat ini, rakyat adalah pihak yang paling dirugikan. Daerah kehilangan arah karena keputusan tidak lagi berakar pada kebutuhan masyarakat luas, melainkan pada segelintir yang mengklaim mewakili “suara publik” padahal hanya menyuarakan hasrat pribadi.

Kondisi ini mencederai perjuangan para aktivis sejati—mereka yang selama ini berdiri teguh tanpa pamrih, membela masyarakat tanpa berharap imbalan, dan tetap menjaga marwah idealisme di tengah godaan kekuasaan.

Kembalikan Marwah Aktivisme dan Kepemimpinan

Sudah waktunya kita bicara tegas: demokrasi memerlukan aktivis, tapi yang murni memperjuangkan rakyat. Bukan yang menjadikan label “aktivis” sebagai alat tawar-menawar dalam urusan kekuasaan. Begitu pula pejabat: mereka tidak boleh jadi sandera tekanan. Mereka harus kembali berani memimpin, bukan hanya memerintah.

Negeri ini tidak boleh dipimpin oleh rasa takut. Ia harus dipimpin oleh integritas, keberanian, dan nurani. Aktivis dan pemimpin harus berdiri di jalur yang sama: menjaga kebaikan publik, bukan memperdagangkan pengaruh.

Jika keduanya—aktivis dan pejabat—mampu bersinergi secara sehat, maka kekuasaan akan menjadi berkah. Namun jika terus saling menundukkan demi kepentingan sempit, maka rakyatlah yang akan menanggung luka paling dalam.

Mari jaga marwah masing-masing. Aktivis dengan idealismenya. Pejabat dengan keberaniannya. Dan rakyat, dengan haknya untuk dilayani, bukan diperalat.


Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: kanalsindo@gmail.com. Terima kasih.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *