KANALSINDO.ID, MINAHASA – Ketua Sinode GMIM, Sekretaris Umum Sinode GMIM, Wakil Ketua BPMS Bidang Pembinaan & Penggembalaan, Bidang Ajaran & Tata Gereja, Ketua Wilayah Lokon Empung, hingga Ketua dan Sekretaris Jemaat Solafide Tinoor, mangkir dari Sidang Perdata Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Tondano, Rabu, 11 Juni 2025
Di Tondano
Sidang perkara perdata perbuatan melawan hukum (PMH) dengan Nomor Perkara 199/Pdt.G/2025/PN Tnn digelar di Pengadilan Negeri Tondano pada hari Rabu, 11 Juni 2025, untuk pertama kalinya. Para Tergugat yang berasal dari jajaran struktural Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dari Sinode sampai Ketua dan Sekretaris Jemaat Solafide Tinoor, mangkir dari panggilan sidang.
Dalam sidang perdana yang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim selaku juga Wakil Ketua PN Tondano Bpk. I G.N.A. Aryanta Era Winawan, menyampaikan yang tidak hadir antara lain: Tergugat I, Ketua Sinode GMIM; Tergugat II Sekretaris Umum Sinode GMIM; Tergugat III Wakil Ketua BPMS Bidang Pembinaan & Penggembalaan; Tergugat IV Wakil Ketua BPMS Bidang Ajaran & Tata Gereja; Tergugat V Ketua Wilayah Lokon Empung; Tergugat VI Ketua Jemaat GMIM Solafide Tinoor; serta Tergugat VII Sekretaris Jemaat Solafide Tinoor, meskipun sudah dipanggil secara patut, tapi tidak hadir juga.
Perkara ini diajukan oleh dua pelayan khusus aktif Kolom 14 GMIM Solafide Tinoor periode 2022–2026, Alexander Gala, S.T (Penatua Klm 14) dan Rolly Toreh, S.H., M.H. (Diaken Klm 14), yang menggugat keputusan sepihak Pimpinan Sidang Majelis Jemaat tanggal 6 November 2024, yaitu Tergugat VI Ketua BPMJ Pdt Vecky Pontoh S.Th, sudah memutuskan agenda pemekaran kolom dan pemilihan pengisian lowong Pelayan Khusus Kolom 14, serta Para Penggugat menyatakan bahwa agenda tersebut melanggar Ketentuan Pasal dalam Tata Gereja 2021.
Menurut mereka, keputusan tersebut cacat hukum dan prosedural, melanggar sejumlah pasal krusial dalam Tata Gereja GMIM 2021.
Klaim Mayoritas Fiktif Daftar Hadir yang Dipaksakan:
Pokok gugatan menyebut bahwa pengambilan keputusan dalam Sidang Majelis Jemaat 6 November 2024 berdasarkan voting yang keliru secara hukum gerejawi. Bahwa saat pengambilan keputusan, yang sah menurut Tergugat VI yaitu ada 39 orang yang mengisi daftar hadir Sidang Majelis Jemaat, 22 orang setuju dan sisanya 17 orang tidak setuju. Itu versi Tergugat VI.
Padahal fakta sebenarnya mayoritas yang hadir saat voting pengambilan keputusan hanya berjumlah 22 orang. Dan saat voting, mayoritas memberi suara aklamasi 17 suara sah menolak agenda tersebut, dan sisanya diam dan sebagian setuju. Itu fakta hitungan aklamasi saat itu.
“Itu yang kami lihat. Mayoritas 17 suara menolak. Tapi kemudian Pimpinan Sidang Tergugat VI merasa janggal, maka ia mengambil daftar hadir pelaksanaan sidang majelis dan dijadikan acuan. Ini manipulasi legitimasi.
Tidak demokratis. Mengabaikan voting pemungutan suara saat itu. Tidak sesuai Tata Gereja GMIM Tahun 2021 Pasal 11 Ayat 4, halaman 24, bahwa “Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara, dapat dilaksanakan setelah disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah peserta dengan hak suara memutuskan yang hadir, dan keputusan sah bila disetujui oleh lebih dari setengah jumlah peserta yang hadir.”
Artinya, persetujuan berdasarkan peserta yang hadir pada saat pengambilan keputusan yaitu 22 orang, dan sah bila disetujui setengah jumlah peserta yang hadir yaitu 17 orang. Dan ada rekaman suaranya saat voting. Kami tidak main-main. Ada buktinya. Jadi yang menurut Tergugat VI mayoritas ada 22 orang setuju menurut daftar hadir itu fiktif dan asal-asalan karena diambil dari daftar hadir, bukan dari peserta sah yang masih ada di lokasi sidang.
Dan saat itu sempat ricuh, ribut, dan tegang, karena Pimpinan Sidang memaksakan kehendaknya dan langsung mengetuk palu sidang, seketika membaca daftar hadir. Padahal mayoritas yang hadir voting sebagian besar menolak agenda krusial itu,” ujar Rolly Toreh, S.H., M.H usai sidang perdana.
Padahal, menurut prinsip gerejawi yang hidup dalam GMIM, suara yang sah dalam sidang majelis bukan hanya soal administrasi kehadiran, tapi kesahihan keterlibatan substansial dalam forum musyawarah.
Langgar Tata Gereja: Pemilihan dan Pemekaran Ilegal.
Beberapa pelanggaran hukum Tata Gereja 2021 yang dipaksakan menjadi agenda dalam sidang majelis tersebut yang dikutip dalam gugatan antara lain:
- Pasal 13 ayat (2) Tata Gereja GMIM 2021, halaman 143, menyatakan:
“Kelowongan terjadi apabila Penatua atau Diaken meninggal dunia, berpindah tempat tinggal, atau tidak berada di tempat lebih dari enam bulan.”
Faktanya, Penatua dan Diaken Kolom 14 masih aktif dan menjalankan tugas, sehingga tidak ada kelowongan sah.
- Pasal 11 ayat (3), Tata Gereja GMIM 2021, berbunyi:
“Pemilihan calon Diaken dan Penatua dilaksanakan sekali dalam satu periode pelayanan lima tahun.”
Artinya, pemilihan hanya boleh digelar serentak pada 2026, ataubakhir periode, bukan di tengah periode 2022–2026, juga bukan karena pemekaran kolom yang tidak ada aturannya.
- Pasal 11 ayat (1), halaman 142, menyatakan:
“Pemilihan dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan sesuai dengan keputusan BPMS.”
Namun, pemilihan yang disengketakan ini justru dilaksanakan oleh BPMJ, tanpa panitia yang disahkan oleh BPMS, sehingga harus menjadikannya tidak sah.
- Selain itu, para penggugat menegaskan bahwa agenda pemekaran/pembentukan kolom dan pengisian lowong pelayan khusus di Kolom 14 tidak pernah tercantum dalam Program Pelayanan Tahun 2025, yang telah diputuskan secara resmi pada Sidang Majelis Jemaat Tahunan tanggal 29 Desember 2024. Ini melanggar asas transparansi dan perencanaan pelayanan.
“Agenda ini bukan hanya ilegal, tapi juga melabrak prosedur pengambilan keputusan, dan agenda pelayanan jemaat yang diatur dalam Tata Gereja,” kata Alexander Gala, S.T, Penatua Kolom 14, dalam keterangan tertulis.
Gereja Digugat, Sinode Bungkam:
Absennya Para Tergugat dari Ketua Sinode GMIM, Sekretaris Umum Sinode GMIM hingga Ketua dan Sekretaris Jemaat Solafide Tinoor, menurut Para Penggugat, mencerminkan pengabaian terhadap proses hukum, tidak siap menghadapi, dan diduga tanpa alasan jelas.
Padahal, gugatan ini tidak bersifat pribadi, melainkan mempertanyakan tindakan kelembagaan yang berpotensi menggerus integritas sistem gerejawi.
Sidang berikutnya dijadwalkan dua pekan depan, tanggal 26 Juni 2025, karena itu majelis hakim kembali menjadwalkan pemanggilan ulang bagi Para Tergugat. Bila ketidakhadiran terus berlanjut, majelis dapat melanjutkan pemeriksaan perkara secara verstek (tanpa kehadiran tergugat), sesuai hukum acara perdata.